Kebudayaan Kutai

Ilmu Budaya Dasar
Tentang Kebudayaan Kutai


Disusun oleh :
Nama : Alika Putri Amanda
Kelas  : 1IA06
NPM  : 50417525



                                                                      

TEKNIK INORMATIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat tugas penulisan tentang Kebudayaan Kutai.

    Tulisan ini telah saya susun dengan maksimal mungkin. Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki tulisanini.
    
    Akhir kata kami berharap semoga tulisan Kebudayaan Kutai ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
            Depok, 26 Maret 2018



Penulis













i
Daftar Isi
Kata Pengantar.....................................................................................................................  i
Daftar isi...............................................................................................................................  ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang................................................................................................................  1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................  1
1.3 Tujuan.............................................................................................................................  1
BAB II Teori
2.1 Teori Kebudayaan Kutai.................................................................................................  2
2.2 Lambang Kebudayaan Kutai........................................................................................... 2
2.3 Upacara Adat Erau...........................................................................................................3
2.4 Kesenian dari Kutai......................................................................................................... 3
BAB III Pembahasan
3.1 Pembahasan Kebudayaan Kutai.......................................................................................4
3.2 Lambang Kebudayaan Kutai........................................................................................... 7
3.3 Upacara Adat Erau...........................................................................................................8
3.4 Kesenian dari Kutai......................................................................................................... 11
BAB IV Penutup
Kesimpulan.............................................................................................................................14








ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagiamana suku Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena itu, suku Kutai mirip dengan suku Dayak. Adat istiadat lama suku Kutai juga mirip dengan suku Dayak misalnya, Erau, Belian, mantra-mantra dan serta ilmu gaib seperti; parang maya, panah erong, polong, racun gangsa, peraku, peloros, dan masih banyak lagi. 
Kutai menjadi nama suku akibat dari politik kepentingan penguasa saat itu yang berambisi menyatukan Nusantara yaitu Maharaja Kartanegara penerus Singasari yang berasal dari Jawa dengan tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Disaat itu selama kekuasaan Kertanegara sebagian masyarakat asli Borneo yang biasa disebut dengan Masyarakat Dayak akhirnya bertransformasi menjadi Masyarakat Kutai saat berdiam di wilayah Kekuasaan Kerajaan Kertanegara dan diharuskan mematuhi peraturan Penguasa. Yang menolak dan memiliki kesempatan melarikan diri akhirnya masuk ke pedalaman dan tetap menjadi Masyarakat Dayak. Versi lain menyebutkan bahwa istilah dayak  juga bukan merupakan nama suku dulunya karena istilah dayak merupakan nama pemberian Belanda yang digunakan oleh para kolonial Belanda untuk menghina masyarakat.
Mengapa saya tertarik memilih tentang Kebudayaan Kutai, karena saya lahir di daerah tersebut dan ingin mengenalkan apa saja yang saya ketahui dari kebudayaan tempat lahir saya, yang mungkin belum diketahui orang banyak. Karena di kelas hanya saya yang berasal dari kota ini.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa itu Kebudayaan Kutai?
2.      Apa lambang yang berasal dari kebudayaan kutai? Jelaskan!
3.      Apa itu Erau? Jelaskan!
4.      Apa saja kesenian yang berasal dari Kutai ?
1.3  Tujuan
1.      Mengetahui Kebudayaan yang ada di Kutai
2.      Untuk mengetahui kesenian yang ada di Kutai





BAB II
Teori
2.1 Kebudayaan Kutai
Pada awalnya Kutai bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan tempat ditemukannya prasasti Yupa oleh peneliti Belanda. Kemudian lambat laun ‘Kutai menjadi nama suku. Sama halnya dengan dayak yang bukan merupakan nama suku dulunya karena istilah dayak merupakan nama pemberian peneliti Belanda. Bahkan dalam naskah lama upacara Erau menyebutkan selamat datang kepada Kutai Tunjung, Kutai Benuaq, Kutai Bahau, dll. Namun politik telah mengubah semuanya.
Menurut tradisi lisan masyarakat kutai, Nama Kutai berawal dari nama Kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman, sebenarnya nama kerajaan ini awalnya disebut Queitaire (Kutai) oleh Pendatang dan Pedagang awal abad masehi yang datang dari India selatan yang artinya Belantara dan Ibukota Kerajaannya bernama Maradavure (Martapura) berada di Pulau Naladwipa dan letaknya di tepi Sungai Mahakam di seberang Persimpangan Sungai Kanan Mudik Mahakam yakni Sungai Kedang Rantau asal nama Kota Muara Kaman sekarang.
Ada pendapat lain, dari sudut pandang masyarakat Jawa, bahwa Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai, akan tetapi ini pada masa Kerajaan Kartanegara.
Kutai memiliki bahasa yang bermacam-macam untuk digunakan pada aktivitas sehari-hari. Dengan adat budaya hindu yang telah tercampur islam di Kutai setiap tahunnya mengadakan upacara yang disebut Erau yang biasa diadakan di pertengahan tahun. Selain itu, memiliki kesenian yang banyak terutama tari yang beraneka ragam berasal dari Kutai.
2.2 Lambang Kebudayaan Kutai
Hewan ini telah menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Hewan ini menjadi hewan dalam mitologi rakyat Kutai yang disucikan karena merupakan tunggangan Mulawarman, yang bertahta sebagai Raja Kutai sekitar 1.500 tahun silam. Inilah Lembuswana, sosok berwarna keemasan yang identik dengan kawasan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Lembuswana atau dikenal juga dengan nama Paksi Liman Jonggo Yokso berwujud binatang lembu atau sapi yang memiliki belalai dan bertaring seperti gajah. Memiliki sayap seperti burung, memiliki kuku dan taji seperti ayam jantan, bersisik seperti naga, serta bermahkota bagaikan seorang raja.
Kemunculan Lembuswana yang konon menjadi penguasa Sungai Mahakam kerap dihubungkan dengan lahirnya Putri Karang Melenu yang muncul bersamaan dengan satwa ini dari dasar Sungai Mahakam. Kelak, di kemudian hari sang putri pun menikah dengan Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dari sang putri inilah kemudian dilahirkan penerus dinasti raja-raja Kutai Kartanegara.
2.3 Upacara adat Erau
Erau adalah sebuah tradisi budaya Indonesia yang dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kegiatan di kota Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Erau berasal dari bahasa Kutai, eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dalam arti: banyaknya kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan.

       2.4 Kesenian dari Kutai
Di Kutai terdapat banyak keseinian yang diantaranya:
1.      Seni Tari
-          Tari Jepen
-          Tari Gantar
-          Tari Hudoq
-          Tari Belian
2.      Seni Drama
-          Mamanda
3.      Seni Musik
-          Tingkilan
-          Hadrah
4.      Seni Arsitektur





























BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kebudayaan Kutai

Suku Kutai atau Urang Kutai atau Suku Dayak Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi sungai. Suku Kutai merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak rumpun ot danum ( tradisi lisan orangtua beberapa Suku Kutai yang mengatakan Suku Dayak Lawangan yang kemudian berdiam di Kalimantan Timur melahirkan Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq, kemudian dengan masuknya budaya melayu dan muslim melahirkan terbentuknya masyarakat Suku Kutai yang berbeda budaya dengan Suku Dayak).
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai mirip dengan Suku Dayak rumpun Ot Danum. Hubungan Kekerabatan Suku Kutai dengan Suku Dayak diceritakan juga dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun Ot Danum (karena masing – masing subsuku memiliki sejarah tersendiri).
Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun ot danum (khususnya Tunjung-Benuaq) misalnya; Erau (upacara adat yang paling meriah), belian (upacara tarian penyembuhan penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti; parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Bahkan hingga saat ini masih ada Suku Kutai di Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara yang menganut kepercayaan kaharingan sama halnya dengan Suku Dayak.
Menurut Legenda Kerajaan Sendawar dengan Raja Tulur Aji Jangkat bersama permaisuri Mok Manor Bulatn dan mereka memupnyai 5 orang anak : Sualas Gunaaqn (Menjadi Keturunan Dayak Tunjung), Jelivan Benaaq (Menjadi Keturunan Dayak Bahau), Nara Gunaa (Menjadi Keturunan Dayak Benuaq), Tantan Cunaaq (Menjadi Keturunan Dayak Kenyah) dan Puncan Karnaaq (Menjadi Keturunan Dayak Kutai ).

Adapaun tradisi lisan di tiap keluarga masyarakat kutai yang mengatakan bahwa leluhur mereka berasal dari negeri cina, mirip dengan tradisi lisan masyarakat Dayak Kenyah.

Dari pemaparan di atas diketahui bahwa Kutai pada masa itu adalah nama Kerajaan/kota/wilayah tempat penemuan prasasti bukan nama suku (etnis) dan hubungan kekerabatan Suku Kutai dan Suku Dayak sangat kuat. Hanya saja pengaruh agama Islam dan akulturasi pendatang yang menyebarkan agama Islam ( Sumatra, Cina, Banjar, Jawa ) serta perang antar kerajaan ( Dinasti Kartanegara dari Majapahit yang memenangkan peperangan melawan kerajaan Kutai Martadipura ) pada saat itu mengakibatkan budaya Suku Kutai menjadi agak berbeda dengan Suku Dayak saat ini. Oleh karena itulah Suku Kutai menyebut Suku Dayak dengan istilah Densanak Tuha yang artinya Saudara Tua.

Masyarakat Kutai yang terdiri dari banyak sub suku memiliki bahasa yang beragam. Beberapa bahasa sub suku yang sudah tidak dipergunakan lagi dan kemungkinan sudah punah adalah bahasa Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo dan Umaa Sam. Bahasa-bahasa tersebut dulunya lazim digunakan oleh masyarakat Kutai di hulu maupun hilir mahakam.

Saat ini bahasa Kutai terbagi ke dalam 4 dialek yang letaknya tidak saling berdekatan
-          Kutai Tenggarong (vkt)
-          Kutai Kota Bangun (mqg)
-          Kutai Muara Ancalong (vkt)
-          Kutai Sengata/Sangatta (belum ada kode bahasanya)
Disamping memiliki beberapa persamaan kosa kata dengan bahasa Banjar, Bahasa Kutai juga memiliki persamaan kosa kata dengan bahasa Dayak Iban, misalnya :

-          nade (Bahasa Kutai Kota Bangun); nadai (Bahasa Kantu’), artinya tidak
-          celap (Bahsa Kutai Tenggarong; celap (Bahasa Dayak Iban, Bahasa Dayak Tunjung), jelap (Bahasa Dayak Benuaq) artinya dingin
-          balu (Bahasa Kutai Tenggarong), balu (Bahasa Dayak Iban, balu’ Bahasa Dayak Benuaq), artinya janda
-          hek (Bahasa Kutai Tenggarong), he’ (Bahasa Dayak Tunjung), artinya tidak

Penduduk Kutai pada masa itu terbagi menjadi lima puak (lima suku):

-          Puak Pantun

Puak Pantun adalah suku tertua di Kalimantan Timur, dan merupakan suku atau Puak yang paling Tua di antara 5 Suku atau Puak Kutai lainya, mereka adalah suku yang mendirikan kerajaan tertua di Nusantara yaitu kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman pada abad 4 Masehi. Suku ini mendiami daerah Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara dan sampai Daerah Wahau dan Daerah Muara Ancalong, serta Daerah Muara Bengkal, Daerah Kombeng di dalam wilayah Kab.Kutai Timur sekarang, suku Kutai pantun dapat dikatakan sebagai turunan para bangsawan dan Pembesar di Kerajaan Kutai Martapura (Kutai Mulawarman). Raja pertamanya dikenal dengan nama Kudungga, dan kerajaan ini jaya pada masa dinasti ketiganya yaitu pada masa Raja Mulawarwan. Dibawah pimpinan Maharaja Mulawarman, kehidupan sosial dan kemasyarakatan diyakini berkembang dengan baik. Pemerintahan berpusat di Keraton yang berada di Martapura wilayah kekuasaannya terbentang dari Dataran Tinggi Tunjung (Kerajaan Pinang Sendawar), Kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun, Kerajaan Pantun di Wahau, Kerajaan Tebalai, hingga ke pesisir Kalimantan Timur, seperti Sungai China, Hulu Dusun dan wilayah lainnya. Dengan penaklukan terhadap kerajaan-kerajan kecil tersebut, kondisi negara dapat stabil sehingga suasana tentram dapat berjalan selama masa pemerintahannya. Suku ini mendiami daerah Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara dan sampai Daerah Wahau dan Daerah Muara Ancalong, serta Daerah Muara Bengkal, Daerah Kombeng di dalam wilayah Kab.Kutai Timur sekarang.

-          Puak Punang

Puak Punang (Puak Kedang) adalah suku yang mendiami wilayah pedalaman. Diperkirakan suku ini adalah hasil percampuran antara puak pantun dan puak sendawar (tunjung-benuaq). Oleh karena itu, logat bahasa Suku Kutai Kedang mengalunkan Nada yang bergelombang. Misalya bahasa Indonesia “Tidak”, Bahasa Kutai “Endik”, Bahasa Kutai Kedang “Inde”…. tegas alas gelombang. Suku ini mendirikan kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun (atau dikenal dengan nama Negeri Paha pada masa pemerintahan Kutai Matadipura). Puak punang ini tersebar diwilayah Kota Bangun, Muara Muntai, danau semayang, Sungai Belayan dan sekitarnya.

Dalam pemerintahan Kerajaan Kutai Martapura dari tahun, 350-1605, yang beribukota di Muara Kaman, kawasan Kota Bangun diketahui bahwa wilayahnya bernama NEGERI PAHA meliputi daerah : KEHAM, KEDANG DALAM, KEDANG IPIL, LEBAK MANTAN, LEBAK CILONG.

Negeri ini setingkat Propinsi dipimpin seorang Mangkubumi (Adipati Wilayah), suku ini disebut Suku Kutai Kedang (Orang Adat Lawas) adapun pimpinannya berigelar Sri Raja (Raja Kecil) dan Sri Raja terakhir bernama Sri Raja TALIKAT merupakan kerabat Raja di Muara Kaman, dan memerintah di ibukota Keham sampai sekarang masyarakat Adat Lawas masih mendiami daerah tersebut diatas.
-          Puak Pahu
Puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah kedang pahu. Suku ini tersebar di muara pahu dan sekitarnya.
-          Puak Sendawar
Puak Sendawar adalah suku yang mendiami wilayah sendawar (Kutai Barat), suku ini mendirikan Kerajaan Sendawar di Kutai Barat dengan Rajanya yang terkenal dengan nama Aji Tulut Jejangkat. Suku ini mendiami daerah pedalaman. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong dan Bentian.
-          Puak Melani
Puak Melani adalah masyarakat yang mendiami wilayah pesisir. Mereka merupakan puak termuda di antara puak-puak Kutai, di dalam masyarakat ini telah terjadi percampuran antara suku kutai asli yaitu Dayak, dengan suku pendatang yakni; Banjar, Jawa dan Melayu. Sehingga Puak ini memang sudah berkembang menjadi kesatuan etnis. Puak ini berkembang di masa kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu kerajaan jawa yang berdiri di Tanah Kutai. Raja pertamanya bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti. Puak ini umumnya mendiami wilayah pesisir seperti Kutai Lama dan Tenggarong.
Dalam perkembangannya puak pantun, punang, pahu dan melani kemudian berkembang menjadi suku kutai yang memiliki bahasa yang mirip namun berbeda dialek. Sedangkan sebagian puak sendawar (puak tulur jejangkat) yang tidak berasimilasi dengan pendatang akhirnya hidup di pedalaman, oleh Peneliti Belanda disebut dengan istilah Orang Dayak.
Puak sendawar yang sebagian besar masih bertahan dengan adat/kepercayaan lama kemudian berpencar membentuk kelompok-kelompok suku pedalaman dan terasing. Mereka kini menjadi suku Tunjung, Benuaq, Penihing, Oeheng, Bentian, Bahau, Modang dan lain-lain. Mereka adalah suku yang disebut Suku Dayak pada masa kini. Dayak adalah sebutan yang dipopulerkan oleh orang Belanda dan peneliti asing, dimana mereka menyebut suku – suku asli yang mendiami pedalaman Kalimantan. Sehingga istilah dayak sendiri sebenarnya bukan berasal dari leluhur orang Kalimantan itu sendiri. Oleh karena itu masih ada beberapa dari Suku Dayak enggan disebut Dayak. Mereka lebih memilih disebut subsukunya, seperti orang Tunjung, orang Benuaq, dan lain – lain.
Jadi yang disebut Suku Kutai sekarang ini adalah suku dari puak pantun, punang, pahu dan melani yang mudah berakulturasi dengan pendatang dan perlahan meninggalkan adat lamanya. Sedangkan Suku Dayak adalah dari puak sendawar yang tetap teguh memegang keyakinan leluhur. Jadi Suku Kutai bukanlah suku melayu muda akan tetapi adalah suku melayu tua, sama seperti Suku Dayak. Pengelompokkan Suku Kutai kedalam ras melayu muda hanya berdasarkan Sosio-religius atau kultural, bukan berdasarkan jenisnya (melayu tua).

3.2 Lambang Kebudayaan Kutai

Binatang ini tak pernah ada dialam nyata, namun patung dan keberadaanya bisa kita lihat nyata di Kutai kartanegara Kalimantan Timur. Lembuswana adalah hewan dalam mitologi rakyat Kutai yang hidup sejak zaman Kerajaan Kutai. Lembuswana menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Hewan ini memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa.

Lembuswana dicirikan sebagai berkepala singa, bermahkota (melambangkan keperkasaan seorang raja yang dianggap penguasa dan mahkota adalah tanda kekuasaan raja yang dianggap seperti dewa), berbelalai gajah (melambangkan dewa Ganesha sebagai dewa kecerdasan), bersayap garuda, dan bersisik ikan.

Dari sisi mitos dan legenda, maka kondisi geografis alam tempat sebuah komunitas bisa melahirkan berbagai cerita. Wilayah Kalimantan memiliki banyak sungai-sungai raksasa dan sangat panjang, misalnya di Kaltim terdapat sungai yang lebarnya ratusan meter, yakni Sungai Mahakam dengan panjang 920 Km melintasi tiga daerah Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda, lalu Sungai Kayan mencapai 640 Km di Kabupaten Bulungan.

Khususnya Sungai Mahakam, masyarakat percaya bahwa terdapat seekor ular naga raksasa yang menjaga sungai tersebut. Konon katanya, saking besarnya naga tersebut, disebutkan bahwa kepalanya ada di Kota Tenggarong dan ekornya sampai Kota Samarinda. Sebagai wujud kepercayaan masyarakat tersebut, maka diadakanlah ritual peluncuran Naga Erau di Sungai Mahakam yang disisipkan sebagai salah satu bagian dari rangkaian upacara adat Erau di Kota Tenggarong, Kab Kutai Kartanegara.

Lembuswana adalah binatang aneh dan tergolong satu-satunya spesies paling langka di dunia namun sudah tentu tidak terdaftar dalam Appendix I Cites karena hanya hidup dalam mitologi Kutai yang sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu itu. Lembuswana adalah wahana Batara Guru yang disebut dalam falsafah :”Paksi leman gangga yakso” yang berarti: bahwa seorang seyogyanya memiliki sifat-sifat mulia pengayom rakyat. Penduduk setempat mempercayai bahwa makhluk ini merupakan ‘kendaraan spiritual’ dari raja Mulawarman, yang merupakan raja kutai pada zaman kejayaan Hindu. Lembuswana kemudian dijadikan Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara. Di Museum Mulawarman yang berlokasi di Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara itu terdapat satu koleksi patung Lembuswana yang terbuat dari kuningan. Lembuswana dibuat di Birma pada 1850 dan tiba di Istana Kutai Kartanegara pada 1900.
Menurut legendanya, ada seorang bayi yang dikawal Ular Naga Lembu dan dibawa oleh Lembuswana. Bayi tersebut kemudian dikenal sebagai Putri Junjung Buih dan menjadi Putri Karang Melenu yang menjadi pendamping hidup raja Kutai Kartanegara pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti yang akhirnya melahirkan para sultan di Kota Raja itu.

Jadi meskipun kini secara fisik Ular Naga Lembu dan Lembuswana itu mungkin tidak ada, namun akan tetap hidup dalam jiwa dan semangat warga Kutai dalam membangun derahnya. Lembuswana sudah sudah menjadi mitos sekligus maskot dari Kota Raja, kabupaten terkaya di Indonesia ini ternyata masih menjunjung tinggi legenda tanah leluhurnya.


3.2 Tradisi Erau

Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan Raja-Raja Kutai Kartanegara.

Dalam perkembangannya, upacara Erau selain sebagai upacara penobatan Raja, juga untuk pemberian gelar dari Raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap Kerajaan.

Pelaksanaan upacara Erau dilakukan oleh kerabat Keraton/Istana dengan mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat yang mengabdi kepada kerajaan. Mereka datang dari seluruh pelosok wilayah kerajaan dengan membawa bekal bahan makanan, ternak, buah-buahan, dan juga para seniman. Dalam upacara Erau ini, Sultan serta kerabat Keraton lainnya memberikan jamuan makan kepada rakyat dengan memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih Sultan atas pengabdian rakyatnya.

Setelah berakhirnya masa pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara pada tahun 1960, wilayahnya menjadi daerah otonomi yakni Kabupaten Kutai. Tradisi Erau tetap dipelihara dan dilestarikan sebagai pesta rakyat dan festival budaya yang menjadi agenda rutin Pemerintah Kabupaten Kutai dalam rangka memperingati hari jadi kota Tenggarong, pusat pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara sejak tahun 1782.

Pelaksanaan Erau yang terakhir menurut tata cara Kesultanan Kutai Kartanegara dilaksanakan pada tahun 1965, ketika diadakan upacara pengangkatan Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Adipati Praboe Anoem Soerya Adiningrat.

Sedangkan Erau sebagai upacara adat Kutai dalam usaha pelestarian budaya dari Pemda Kabupaten Kutai baru diadakan pada tahun 1971 atas prakarsa Bupati Kutai saat itu, Drs.H. Achmad Dahlan. Upacara Erau dilaksanakan 2 tahun sekali dalam rangka peringatan ulang tahun kota Tenggarong yang berdiri sejak 29 September 1782.

Atas petunjuk Sultan Kutai Kartanegara yang terakhir, Sultan A.M. Parikesit, maka Erau dapat dilaksanakan Pemda Kutai Kartanegara dengan kewajiban untuk mengerjakan beberapa upacara adat tertentu, tidak boleh mengerjakan upacara Tijak Kepala dan Pemberian Gelar, dan beberapa kegiatan yang diperbolehkan seperti upacara adat lain dari suku Dayak, kesenian dan olahraga/ketangkasan.
Terdapat tiga pelaksanaan ERAU adat di lingkup Kesultanan Kutai Kartanegara, yakni :
-          Erau Tepong Tawar
Yaitu erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat keraton pada waktu tertentu berdasarkan keinginan (hajat) terhadap suatu pekerjaan. Dalam pelaksanaan ini Raja bergerak bebas artinya tidak melakukan batsan tertentu yang disebut “TUHING”.

-          Erau Pelas Tahun
Yaitu erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat keraton berhubungan dengan aktifitas kehidupan rakyat yang bertujuan untuk membersihkan segala macam hal yang mengganggu sumber – sumber kehidupan di permukaan bumi dalam suatu wilayah kerajaan.

-          Erau Beredar di Kutai
Yakni erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat keraton dengan yang di ERAU kan adalah raja, yang ditandai dengan prosesi“Mendirikan Ayu” dan diakhiri dengan prosesi “Merebahkan Ayu”. Adapun tahapan dalam melaksanakan upacara Erau adalah sebagai berikut :
-          Pra Erau
Sebelum Upacara Tradisi Erau dilaksanakan telah dilakukan beberapa ritual pendahuluan sebagai upaya untuk membuka komunikasi kepada alam gaib yang diyakini ada dan dapat saling memberikan manfaat dalam kehidupan nyata. Adapun Tahapan – Tahapan PRA ERAU adalah sebagai berikut :
-          Besawai Pemberitahuan
Besawai merupakan proses komunikasi terhadap hal – hal yang tidak nyata atau gaib. Besawai ini ditujukan kepada segenap penghuni negeri yang akan mengadakan upacara tradisi ERAU yang dilakukan sesepuh atau yang dituakan dan mengerti tentang hal – hal gaib untuk diberitahu dan diundang secara menyeluruh.
-          Beluluh Awal
Beluluh adalah prosesi ritual yang dilakukan oleh Dewa dan Belian terhadap Raja/Sultan/Putra Mahkota guna membersihkan diri dari unsur-unsur jahat, baik yang yang beruwujud maupun tak berwujud. Prosesi ini dilaksanakan sebagai pertanda dimulainya prosesi ERAU. Beluluh dilaksanakan pada permulaan / awal sebelum Erau dimulai, dan setiap hari saat matahari turun selama prosesi Erau dilaksanakan.
-          Menjamu Benua
Prosesi Menjamu Benua pada upacara Erau adalah prosesi memanggil atau memberitahu mahluk halus yang dialkukan oleh Dewa (orang yang ditunjuk untuk melakukan prosesi adat ritual ). Prosesi ini dilaksanakan setelah Dewa menghadap sultan untuk mendapat restu, dan kemudian menuju ke KEPALA BENUA yang berda di bagian hulu kota Tenggarong, yang bertempat di Tanah Habang di Kelurahan Mangkurawang dengan diiringi tabuhan gamelan dan gendang.
-          Merangin
Ritual merangin dilaksanakan di serapo belian selama tiga malam berturut – turut setelah siang harinya dilaksanakan Prosesi Menjamu Benua. Merangin merupakan ritual yang dilakukan dengan tarian yang dilakukan oleh belian dengan mengelilingi Benyawan (rumba) sambil memegang tali – tali yang ada di benyawan.
-          Ngalak Air di Kutai lama
Ngalak atau dalam bahasa Indonesia mengambil yakni proses air di Kutai Lama di Tepian Batu dan dimasukkan ke dalam Molo (Guci) untuk dibawa ke Tenggarong sebagai perlengkapan bahan untuk ritual Mendirikan Ayu dan diletakkan di bawah Sangkoh Piatu. Dalam perjalanan menuju Kutai Lama terdapat 5 tempat yang harus disinggahi untuk meminta ijin dan tuah dan sekaligus pemberitahuan akan dilaksanakannya Erau. Di tempat tersebut dilakukan ritual Besawai dan Melaboh Tigu (proses buang telor).
-          Ngatur Dahar
Ngatur Dahar dilaksanakan pada malam hari setelah siangnya utusan Dewa Belian Ngalak Air Kutai Lama di Kutai Lama (Tepian Batu) dan pada malam ini masuk ke ritual Merangin malam ketiga.
-          Mendirikan Ayu
Sehidang Jalik dihamparkan dan diatasnya dihiasi Tambak Karang dengan motif naga biasa dan naga kurap sera seluang mas berwarna-warni, pada Tambak Karang ini terdapat 4 ekor naga yang masing-masing menghadap 4 sudut luar dan di bagian tengah bermotif taman, sedangkan bagian lainnya terisi dengan seluang mas.
-          Bepelas
Selesai Merangin oleh Dewa dan Belian di Serapo Belian langsung menuju keraton/istna dan berputar-putar 7 kali di area Bepelas, kemudian duduk bersila berjajar, dewa sebelah kanan dan Belian sebelah kiri dipimpin oleh Pawang menghaturkan sembah hormat. Pada Bepelas ini, terdapat tampilan tari Selendang, tari Kipas, tari Memuja Panah, prosesi Sultan meniti dan menginjak Batu Tijakan, Tari Saong Manok, Tari Kanjar Bini, dan Tari Kanjar Laki.
-          Menyisiki Lembu Suana
Di atas sebidang “Jalik” tertata “Tambak Karang” yang bermotif Lembu Suana. Pembuatan Lembu Suana ini dari bahan beras yang berwarna-warni sebanyak 37 warna, dan terlihat sangat tegas dan seakan-akan hidup.
Dimulai para kerabat, berdiri bangkit dari duduk bersilanya untuk menghampiri dan mengelilingi “Tambak Karang Lembu Suana” dan tiap orang meletakkan mata uang kertas maupun logam ke bagian-bagian tubuh yaitu ke bagian kepala yang bermahkota, bagian belalai, bagian tubuh, kaki, taji, ekor, sayap dan sisik dengan menghatur “niat” masing-masing terhadap pemaknaan dari simbol-simbol dalam diri/wujud “Lembu Suana”.
Setelah semuanya tidak ada lagi yang melakukan “taruh uang” maka DEMONG dengan para pembantunya mengangkat sebidang tempat persegi empat diatas duplikat “Lembu Suana” tersebut sambil menggoyang tutup segi empat dibagikan atas kepala, dan di bagian bawah, hamparan uang kertas dan logam dikumpulkan pada satu wadah/tempat yang kelak akan diserahkan untuk para pengabdi ritual seperti Dewa dan Belian.

-          Dewa Belian Menjala
Dewa laki bangkit dari duduknya sambil menyeret perahu/biduk/gubang berwarna kuning mengelilingi area Tambak Karang. Sedangkan Dewa bini menghamparkan kain kuning panjang, juga berkeliling.
Para hadirin dan kerabat melemparkan/memasukkan uang logam dan kertas ke dalam perahu/biduk di atas kain kuning panjang hingga menumpuk. Prosesi ini menggambarkan mencari ikan dengan menggunakan perahu, jala, dan mendapatkan hasil untuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh melambangkan tradisi gotong royong untuk saling membantu.

-          Dewa Menunjuk Buah Kamal
Di atas kepala para hadirin terbentang tali-tali yang memanjang dan terikat kuat, dengan jarak-jarak tertentu bergelantungan kue-kue kampung yang dibuat dalam kantongan plastik. Hal ini menggambarkan bahwa pohon yangberbuah Bawal/Kamal adalah pohon yang dapat memberikan kehidupandengan menghasilkan buah-buahan yang siap makan. Para dewa mengambil sepotong kayu sebagai galah untuk memetik dan menggugurkan buah-buah tersebut.
-          Seluang Mudik
Para hadirin berdiri dan dimulai oleh kerabat kesultanan untuk menarikan Tari Kanjur dan diikuti oleh hadirin dengan formasi beberapa lapis saling berlawanan arah yang melambangkan kehidupan hewan air yaitu “Ikan Seluang” yang ada di Sungai Mahakam.
-          Ngulur Naga
Dua replika Naga yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kepala terbuat dari kayu yang diukir mirip kepala naga dan dihiasi sisik-sisik warna-warni di atas kepala terpasang ketopong (mahkota), di bagian leher terdapat kalung yang dihiasi kain ber-rumbai warna-warni.
Bagian leher yang berkalung disambungkan ke bagian badan yang terbuat dari rotan dan bambu, dan dibungkus dengan kain kuning. Pada kain kuning ini disusun sisik-sisik yang berwarna warni mirip sisik ular besar. Bagian badannya terdapat lekuk-lekuk (luk) sebanyak 5 luk seakan-akan seekor Naga yang siap berjalan ke arah tujuannya. Bagian ekor terbuat dari kayu yang telah diukir menyerupai seekor naga.

Selama tujuh hari tujuh malam dua ekor Naga ini telah disemayamkan di bagian serambi kanan keraton untuk Naga Laki dan serambi kiri untuk Naga Bini dan bagian bawah sekitar dada ditaruh/ditempatkan masing-masing Peduduk lengkap dengan isinya.

Di hadapan serambi kiri kanan tempat Naga bersemayam terdapat Titian disebut Rangga Titi tempat Naga diturunkan yang dihampari kain kuning untuk menuju ke sungai, sebelum Naga diturunkan dari persemayamannya ada prosesi persembahan oleh Dewa Belian memberi jamuan dan Besawai bahwa Naga akan diturunkan
-          Beumban
Saat Naga diluncurkan menuju Kutai Lama, maka di keraton dilakukan upacara “Beumban” untuk Sultan/Raja yang dilakukan oleh Juri’at keturunan yang lebih tua walaupun dari segi umur masih muda di lingkungan kerabat.
-          Begorok
Naga masih dalam perjalanan ke Kutai Lama dan Beumban telah dilakukan baru dilanjutkan dengan upacara Begorok, juga dilakukan di dalam Keraton/Istana.
-          Rangga Titi
Dari Istana/Keraton turun menuju tepi Sungai Mahakam (pelabuhan) yang didampingi oleh para kerabat, sesampainya di pelabuhan yang telah tersedia Balai, Sultan langsung duduk di atas Balai menghadap ke Sungai Mahakam (Timur) yang diapit oleh 7 orang Pangkon laki dan 7 orang Pangkon bini.
-          Belimbur
Dengan dipercikkannya Air Tuli oleh Sultan kepada sekalian hadirin, maka berakhirlah upacara adat erau, maka seluruh masyarakat baik di tempat acara, di sepanjang jalan, gang, dari kota hingga ke desa melakukan siram-siraman air (Belimbur). Terlihat tua-muda, laki-bini basah kuyup menerima siraman air, kecuali orang tua atau ibu/bapak yang membawa anak kecil dibawah umur dilindungi dan tidak boleh disiram.

3.4 Kesenian Kutai

A. Seni Tari
1. Tari Jepen
Kesenian jepen adalah kesenian Melayu Rakyat Kutai Kartanegara, yang muncul pada diiringi alat musik “Gambus“ dan “Ketipung“ atau semacam “Marwas“ serta berbagai alat musik perkusi lainnya.
Tari Jepen adalah tari garapan yang tidak meninggalkan gerak ragam aslinya, yang disebut ragam penghormatan, ragam gelombang, ragam samba setangan, ragam samba penuh, ragam gengsot, ragam anak, dan lain-lain. Eroh dalam bahasa Kutai berarti ramai, riuh dan gembira. Oleh sebab itu, penataan Tari Jepen Eroh ini penuh dengan gerak-gerak yang dinamis dan penuh unsure kebahagiaan.
2. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.
3.      Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
4.      Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya.

B. Seni Drama
Mamanda merupakan salah satu kesenian drama tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Kutai. Istilah mamanda berasal dari kata pamanda / paman.
Kata tersebut dalam suatu lakon merupakan panggilan raja yang ditujukan kepada menteri. Wajir atau mangkubuminya dengan sebutan pamanda menteri, pamanda wajir, dan pamanda mangkubumi
Di masa lalu, kesenian mamanda merupakan pertunjukan yang cukup populer di tanah Kutai. Kesenian ini selalu dipertunjukkan pada setiap perayaan nasional, pada acara perkawinan, khitanan, dan sebagainya. Saat ini, mamanda sudah jarang dipentaskan secara terbuka. Namun, pertunjukan ini masih bisa ditonton pada festival Erau di Kota Tenggarong.

C. Seni Musik
Tingkilan adalah Seni musik khas suku Kutai. kesenian ini memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan adalah Gambus (sejenis gitar berdawai 6), ketipung (semacam kendang kecil), kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar) dan biola.
Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu sering dibawakan oleh dua orang penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling memuji, atau bahkan saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.

D. Seni Arsitektur
Rumah tradisional Suku Kutai sama dengan rumah tradisional Suku Dayak yang di kenal dengan sebutan lamin. Bentuk rumah adat lamin dari tiap suku umumnya tidak jauh berbeda.
Lamin biasanya didirikan menghadap ke arah sungai. Di halaman sekitar lamin terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung persembahan nenek moyang.
Lamin berbentuk rumah panggung (memiliki kolong) dengan menggunakan atap berbentuk pelana. Untuk naik ke atas lamin, digunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang di susun membentuk undakan dan tangga ini bisa di pindah-pindah atau dinaik turunkan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman musuh atau pun binatang buas.







BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan Suku Kutai merupakan hasil asimilasi dari budaya Melayu, Jawa dan Dayak. Suku Kutai sendiri adalah perpecahan dari suku dayak Rumpun Ot Danum yang lama-kelamaan memisahkan diri sehingga membentuk suku sendiri yaitu Suku Kutai. Ragam kebudayaan Kutai terdiri dari seni tari, musik, drama, arsitektur, bahasa, makanan, upacara-upacara adat,dll adalah merupakan ciri khas kebudayaan Suku Kutai Kalimantan Timur yang unik dan berbeda dengan suku lainnya di Indonesia khususnya di provinsi Kalimantan timur. Kebudayaan Suku kutai merupakan salah satu khasanah kebudayaan indonesia yang harus terus di jaga kelestariannya.


































Daftar Pustaka



Komentar

Postingan Populer