Kebudayaan Kutai
Ilmu
Budaya Dasar
Tentang
Kebudayaan Kutai
Disusun
oleh :
Nama : Alika
Putri Amanda
Kelas : 1IA06
NPM : 50417525
TEKNIK
INORMATIKA
FAKULTAS
TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
Kata
Pengantar
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat tugas penulisan
tentang Kebudayaan Kutai.
Tulisan ini telah saya susun dengan maksimal mungkin. Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki tulisanini.
Akhir kata kami berharap semoga tulisan Kebudayaan Kutai ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Tulisan ini telah saya susun dengan maksimal mungkin. Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki tulisanini.
Akhir kata kami berharap semoga tulisan Kebudayaan Kutai ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Depok,
26 Maret 2018
Penulis
i
Daftar Isi
Kata
Pengantar..................................................................................................................... i
Daftar
isi............................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang................................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................... 1
1.3
Tujuan............................................................................................................................. 1
BAB II Teori
2.1 Teori Kebudayaan
Kutai................................................................................................. 2
2.2 Lambang Kebudayaan
Kutai........................................................................................... 2
2.3 Upacara Adat
Erau...........................................................................................................3
2.4 Kesenian dari
Kutai......................................................................................................... 3
BAB III Pembahasan
3.1 Pembahasan Kebudayaan Kutai.......................................................................................4
3.2 Lambang Kebudayaan
Kutai........................................................................................... 7
3.3 Upacara Adat
Erau...........................................................................................................8
3.4 Kesenian dari
Kutai......................................................................................................... 11
BAB IV Penutup
Kesimpulan.............................................................................................................................14
ii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu
teritori tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai
berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagiamana suku Dayak di
Kalimantan Timur. Oleh karena itu, suku Kutai mirip dengan suku Dayak. Adat
istiadat lama suku Kutai juga mirip dengan suku Dayak misalnya, Erau, Belian, mantra-mantra
dan serta ilmu gaib seperti; parang maya, panah erong, polong, racun gangsa,
peraku, peloros, dan masih banyak lagi.
Kutai menjadi nama suku akibat dari politik
kepentingan penguasa saat itu yang berambisi menyatukan Nusantara yaitu
Maharaja Kartanegara penerus Singasari yang
berasal dari Jawa dengan tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kubilai Khan
dari Dinasti Mongol. Disaat itu selama kekuasaan Kertanegara sebagian
masyarakat asli Borneo yang biasa disebut dengan Masyarakat Dayak akhirnya
bertransformasi menjadi Masyarakat Kutai saat berdiam di wilayah Kekuasaan
Kerajaan Kertanegara dan diharuskan mematuhi peraturan Penguasa. Yang menolak
dan memiliki kesempatan melarikan diri akhirnya masuk ke pedalaman dan tetap
menjadi Masyarakat Dayak. Versi lain menyebutkan bahwa istilah dayak
juga bukan merupakan nama suku dulunya karena istilah dayak merupakan nama pemberian Belanda yang digunakan
oleh para kolonial Belanda untuk menghina masyarakat.
Mengapa saya tertarik memilih tentang
Kebudayaan Kutai, karena saya lahir di daerah tersebut dan ingin mengenalkan
apa saja yang saya ketahui dari kebudayaan tempat lahir saya, yang mungkin
belum diketahui orang banyak. Karena di kelas hanya saya yang berasal dari kota
ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa itu Kebudayaan Kutai?
2. Apa lambang yang berasal dari kebudayaan
kutai? Jelaskan!
3. Apa itu Erau? Jelaskan!
4. Apa saja kesenian yang berasal dari Kutai ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Kebudayaan yang ada di Kutai
2. Untuk mengetahui kesenian yang ada di Kutai
BAB II
Teori
2.1 Kebudayaan Kutai
Pada awalnya Kutai bukanlah nama suku, akan
tetapi nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan tempat ditemukannya prasasti Yupa
oleh peneliti Belanda. Kemudian lambat laun ‘Kutai menjadi nama suku. Sama
halnya dengan dayak yang bukan merupakan nama suku dulunya karena istilah dayak
merupakan nama pemberian peneliti Belanda. Bahkan dalam naskah lama upacara
Erau menyebutkan selamat datang kepada Kutai Tunjung, Kutai Benuaq, Kutai
Bahau, dll. Namun politik telah mengubah semuanya.
Menurut tradisi lisan masyarakat kutai, Nama
Kutai berawal dari nama Kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman, sebenarnya
nama kerajaan ini awalnya disebut Queitaire (Kutai) oleh Pendatang dan Pedagang
awal abad masehi yang datang dari India selatan yang artinya Belantara dan
Ibukota Kerajaannya bernama Maradavure (Martapura) berada di Pulau Naladwipa
dan letaknya di tepi Sungai Mahakam di seberang Persimpangan Sungai Kanan Mudik
Mahakam yakni Sungai Kedang Rantau asal nama Kota Muara Kaman sekarang.
Ada pendapat lain, dari sudut pandang
masyarakat Jawa, bahwa Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat
menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah
Tunjung Kutai, akan tetapi ini pada masa Kerajaan Kartanegara.
Kutai memiliki bahasa yang bermacam-macam
untuk digunakan pada aktivitas sehari-hari. Dengan adat budaya hindu yang telah
tercampur islam di Kutai setiap tahunnya mengadakan upacara yang disebut Erau
yang biasa diadakan di pertengahan tahun. Selain itu, memiliki kesenian yang
banyak terutama tari yang beraneka ragam berasal dari Kutai.
2.2 Lambang Kebudayaan Kutai
Hewan ini telah menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan Kutai
Kartanegara. Hewan ini menjadi hewan dalam mitologi rakyat Kutai yang disucikan
karena merupakan tunggangan Mulawarman, yang bertahta sebagai Raja Kutai
sekitar 1.500 tahun silam. Inilah Lembuswana, sosok berwarna keemasan yang
identik dengan kawasan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Lembuswana atau dikenal juga dengan nama Paksi Liman Jonggo Yokso
berwujud binatang lembu atau sapi yang memiliki belalai dan bertaring seperti
gajah. Memiliki sayap seperti burung, memiliki kuku dan taji seperti ayam
jantan, bersisik seperti naga, serta bermahkota bagaikan seorang raja.
Kemunculan Lembuswana yang konon menjadi penguasa Sungai Mahakam kerap
dihubungkan dengan lahirnya Putri Karang Melenu yang muncul bersamaan dengan
satwa ini dari dasar Sungai Mahakam. Kelak, di kemudian hari sang putri pun
menikah dengan Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dari sang putri inilah kemudian
dilahirkan penerus dinasti raja-raja Kutai Kartanegara.
2.3
Upacara adat Erau
Erau adalah sebuah tradisi budaya Indonesia yang
dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kegiatan di kota Tenggarong, Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur. Erau berasal dari bahasa Kutai, eroh yang
artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Suasana yang ramai,
riuh rendah suara tersebut dalam arti: banyaknya kegiatan sekelompok orang yang
mempunyai hajat dan mengandung makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan.
2.4 Kesenian dari Kutai
Di Kutai terdapat banyak keseinian yang diantaranya:
1. Seni Tari
-
Tari Jepen
-
Tari Gantar
-
Tari Hudoq
-
Tari Belian
2. Seni Drama
-
Mamanda
3. Seni Musik
-
Tingkilan
-
Hadrah
4. Seni Arsitektur
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kebudayaan Kutai
Suku Kutai atau Urang Kutai atau Suku Dayak Kutai adalah
suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini
beragama Islam dan hidup di tepi sungai. Suku Kutai merupakan bagian dari rumpun
Suku Dayak, khususnya dayak rumpun ot danum ( tradisi lisan orangtua beberapa
Suku Kutai yang mengatakan Suku Dayak Lawangan yang kemudian berdiam di
Kalimantan Timur melahirkan Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq, kemudian
dengan masuknya budaya melayu dan muslim melahirkan terbentuknya masyarakat
Suku Kutai yang berbeda budaya dengan Suku Dayak).
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat
bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan
jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan
Timur. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai mirip dengan Suku Dayak rumpun
Ot Danum. Hubungan Kekerabatan Suku Kutai dengan Suku Dayak diceritakan juga
dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun
Ot Danum (karena masing – masing subsuku memiliki sejarah tersendiri).
Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan
adat-istiadat Suku Dayak rumpun ot danum (khususnya Tunjung-Benuaq) misalnya;
Erau (upacara adat yang paling meriah), belian (upacara tarian penyembuhan
penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti; parang maya,
panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana
adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Bahkan hingga saat
ini masih ada Suku Kutai di Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara yang menganut
kepercayaan kaharingan sama halnya dengan Suku Dayak.
Menurut Legenda Kerajaan Sendawar dengan Raja Tulur Aji
Jangkat bersama permaisuri Mok Manor Bulatn dan mereka memupnyai 5 orang anak :
Sualas Gunaaqn (Menjadi Keturunan Dayak Tunjung), Jelivan Benaaq (Menjadi
Keturunan Dayak Bahau), Nara Gunaa (Menjadi Keturunan Dayak Benuaq), Tantan
Cunaaq (Menjadi Keturunan Dayak Kenyah) dan Puncan Karnaaq (Menjadi Keturunan
Dayak Kutai ).
Adapaun tradisi lisan di tiap keluarga masyarakat kutai
yang mengatakan bahwa leluhur mereka berasal dari negeri cina, mirip dengan
tradisi lisan masyarakat Dayak Kenyah.
Dari pemaparan di atas diketahui bahwa Kutai pada masa
itu adalah nama Kerajaan/kota/wilayah tempat penemuan prasasti bukan nama suku
(etnis) dan hubungan kekerabatan Suku Kutai dan Suku Dayak sangat kuat. Hanya
saja pengaruh agama Islam dan akulturasi pendatang yang menyebarkan agama Islam
( Sumatra, Cina, Banjar, Jawa ) serta perang antar kerajaan ( Dinasti
Kartanegara dari Majapahit yang memenangkan peperangan melawan kerajaan Kutai
Martadipura ) pada saat itu mengakibatkan budaya Suku Kutai menjadi agak
berbeda dengan Suku Dayak saat ini. Oleh karena itulah Suku Kutai menyebut Suku
Dayak dengan istilah Densanak Tuha yang artinya Saudara Tua.
Masyarakat Kutai yang terdiri dari banyak sub suku
memiliki bahasa yang beragam. Beberapa bahasa sub suku yang sudah tidak
dipergunakan lagi dan kemungkinan sudah punah adalah bahasa Umaa Wak, Umaa
Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo dan Umaa Sam. Bahasa-bahasa tersebut
dulunya lazim digunakan oleh masyarakat Kutai di hulu maupun hilir mahakam.
Saat ini bahasa Kutai terbagi ke dalam 4 dialek yang letaknya
tidak saling berdekatan
-
Kutai Tenggarong (vkt)
-
Kutai Kota Bangun (mqg)
-
Kutai Muara Ancalong (vkt)
-
Kutai Sengata/Sangatta (belum ada kode
bahasanya)
Disamping memiliki beberapa persamaan kosa kata dengan
bahasa Banjar, Bahasa Kutai juga memiliki persamaan kosa kata dengan bahasa
Dayak Iban, misalnya :
-
nade (Bahasa Kutai Kota Bangun); nadai
(Bahasa Kantu’), artinya tidak
-
celap (Bahsa Kutai Tenggarong; celap (Bahasa
Dayak Iban, Bahasa Dayak Tunjung), jelap (Bahasa Dayak Benuaq) artinya dingin
-
balu (Bahasa Kutai Tenggarong), balu (Bahasa
Dayak Iban, balu’ Bahasa Dayak Benuaq), artinya janda
-
hek (Bahasa Kutai Tenggarong), he’ (Bahasa
Dayak Tunjung), artinya tidak
Penduduk Kutai pada masa itu terbagi menjadi lima puak
(lima suku):
-
Puak Pantun
Puak Pantun adalah suku tertua di Kalimantan Timur, dan
merupakan suku atau Puak yang paling Tua di antara 5 Suku atau Puak Kutai
lainya, mereka adalah suku yang mendirikan kerajaan tertua di Nusantara yaitu
kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman pada abad 4 Masehi. Suku ini mendiami
daerah Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara dan sampai Daerah Wahau dan Daerah
Muara Ancalong, serta Daerah Muara Bengkal, Daerah Kombeng di dalam wilayah
Kab.Kutai Timur sekarang, suku Kutai pantun dapat dikatakan sebagai turunan
para bangsawan dan Pembesar di Kerajaan Kutai Martapura (Kutai Mulawarman).
Raja pertamanya dikenal dengan nama Kudungga, dan kerajaan ini jaya pada masa
dinasti ketiganya yaitu pada masa Raja Mulawarwan. Dibawah pimpinan Maharaja
Mulawarman, kehidupan sosial dan kemasyarakatan diyakini berkembang dengan
baik. Pemerintahan berpusat di Keraton yang berada di Martapura wilayah
kekuasaannya terbentang dari Dataran Tinggi Tunjung (Kerajaan Pinang Sendawar),
Kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun, Kerajaan Pantun di Wahau, Kerajaan Tebalai,
hingga ke pesisir Kalimantan Timur, seperti Sungai China, Hulu Dusun dan
wilayah lainnya. Dengan penaklukan terhadap kerajaan-kerajan kecil tersebut,
kondisi negara dapat stabil sehingga suasana tentram dapat berjalan selama masa
pemerintahannya. Suku ini mendiami daerah Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara
dan sampai Daerah Wahau dan Daerah Muara Ancalong, serta Daerah Muara Bengkal,
Daerah Kombeng di dalam wilayah Kab.Kutai Timur sekarang.
-
Puak Punang
Puak Punang (Puak Kedang) adalah suku yang mendiami
wilayah pedalaman. Diperkirakan suku ini adalah hasil percampuran antara puak
pantun dan puak sendawar (tunjung-benuaq). Oleh karena itu, logat bahasa Suku
Kutai Kedang mengalunkan Nada yang bergelombang. Misalya bahasa Indonesia
“Tidak”, Bahasa Kutai “Endik”, Bahasa Kutai Kedang “Inde”…. tegas alas
gelombang. Suku ini mendirikan kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun (atau dikenal
dengan nama Negeri Paha pada masa pemerintahan Kutai Matadipura). Puak punang
ini tersebar diwilayah Kota Bangun, Muara Muntai, danau semayang, Sungai
Belayan dan sekitarnya.
Dalam pemerintahan Kerajaan Kutai Martapura dari tahun,
350-1605, yang beribukota di Muara Kaman, kawasan Kota Bangun diketahui bahwa
wilayahnya bernama NEGERI PAHA meliputi daerah : KEHAM, KEDANG DALAM, KEDANG
IPIL, LEBAK MANTAN, LEBAK CILONG.
Negeri ini setingkat Propinsi dipimpin seorang Mangkubumi
(Adipati Wilayah), suku ini disebut Suku Kutai Kedang (Orang Adat Lawas) adapun
pimpinannya berigelar Sri Raja (Raja Kecil) dan Sri Raja terakhir bernama Sri
Raja TALIKAT merupakan kerabat Raja di Muara Kaman, dan memerintah di ibukota
Keham sampai sekarang masyarakat Adat Lawas masih mendiami daerah tersebut
diatas.
-
Puak Pahu
Puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah kedang pahu.
Suku ini tersebar di muara pahu dan sekitarnya.
-
Puak Sendawar
Puak Sendawar adalah suku yang mendiami wilayah sendawar
(Kutai Barat), suku ini mendirikan Kerajaan Sendawar di Kutai Barat dengan
Rajanya yang terkenal dengan nama Aji Tulut Jejangkat. Suku ini mendiami daerah
pedalaman. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok
suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau,
Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong dan Bentian.
-
Puak Melani
Puak Melani adalah masyarakat yang mendiami wilayah
pesisir. Mereka merupakan puak termuda di antara puak-puak Kutai, di dalam
masyarakat ini telah terjadi percampuran antara suku kutai asli yaitu Dayak,
dengan suku pendatang yakni; Banjar, Jawa dan Melayu. Sehingga Puak ini memang
sudah berkembang menjadi kesatuan etnis. Puak ini berkembang di masa kerajaan
Kutai Kartanegara, yaitu kerajaan jawa yang berdiri di Tanah Kutai. Raja
pertamanya bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti. Puak ini umumnya mendiami
wilayah pesisir seperti Kutai Lama dan Tenggarong.
Dalam perkembangannya puak pantun, punang, pahu dan
melani kemudian berkembang menjadi suku kutai yang memiliki bahasa yang mirip
namun berbeda dialek. Sedangkan sebagian puak sendawar (puak tulur jejangkat)
yang tidak berasimilasi dengan pendatang akhirnya hidup di pedalaman, oleh
Peneliti Belanda disebut dengan istilah Orang Dayak.
Puak sendawar yang sebagian besar masih bertahan dengan
adat/kepercayaan lama kemudian berpencar membentuk kelompok-kelompok suku
pedalaman dan terasing. Mereka kini menjadi suku Tunjung, Benuaq, Penihing,
Oeheng, Bentian, Bahau, Modang dan lain-lain. Mereka adalah suku yang disebut
Suku Dayak pada masa kini. Dayak adalah sebutan yang dipopulerkan oleh orang
Belanda dan peneliti asing, dimana mereka menyebut suku – suku asli yang
mendiami pedalaman Kalimantan. Sehingga istilah dayak sendiri sebenarnya bukan
berasal dari leluhur orang Kalimantan itu sendiri. Oleh karena itu masih ada
beberapa dari Suku Dayak enggan disebut Dayak. Mereka lebih memilih disebut
subsukunya, seperti orang Tunjung, orang Benuaq, dan lain – lain.
Jadi yang disebut Suku Kutai sekarang ini adalah suku
dari puak pantun, punang, pahu dan melani yang mudah berakulturasi dengan
pendatang dan perlahan meninggalkan adat lamanya. Sedangkan Suku Dayak adalah
dari puak sendawar yang tetap teguh memegang keyakinan leluhur. Jadi Suku Kutai
bukanlah suku melayu muda akan tetapi adalah suku melayu tua, sama seperti Suku
Dayak. Pengelompokkan Suku Kutai kedalam ras melayu muda hanya berdasarkan
Sosio-religius atau kultural, bukan berdasarkan jenisnya (melayu tua).
3.2 Lambang
Kebudayaan Kutai
Binatang ini tak pernah ada dialam nyata, namun patung
dan keberadaanya bisa kita lihat nyata di Kutai kartanegara Kalimantan Timur.
Lembuswana adalah hewan dalam mitologi rakyat Kutai yang hidup sejak zaman
Kerajaan Kutai. Lembuswana menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan
Kutai Kartanegara. Hewan ini memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa.
Lembuswana dicirikan sebagai berkepala singa, bermahkota
(melambangkan keperkasaan seorang raja yang dianggap penguasa dan mahkota
adalah tanda kekuasaan raja yang dianggap seperti dewa), berbelalai gajah
(melambangkan dewa Ganesha sebagai dewa kecerdasan), bersayap garuda, dan
bersisik ikan.
Dari sisi mitos dan legenda, maka kondisi geografis alam
tempat sebuah komunitas bisa melahirkan berbagai cerita. Wilayah Kalimantan
memiliki banyak sungai-sungai raksasa dan sangat panjang, misalnya di Kaltim
terdapat sungai yang lebarnya ratusan meter, yakni Sungai Mahakam dengan
panjang 920 Km melintasi tiga daerah Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai
Kartanegara dan Kota Samarinda, lalu Sungai Kayan mencapai 640 Km di Kabupaten
Bulungan.
Khususnya Sungai Mahakam, masyarakat percaya bahwa
terdapat seekor ular naga raksasa yang menjaga sungai tersebut. Konon katanya,
saking besarnya naga tersebut, disebutkan bahwa kepalanya ada di Kota
Tenggarong dan ekornya sampai Kota Samarinda. Sebagai wujud kepercayaan
masyarakat tersebut, maka diadakanlah ritual peluncuran Naga Erau di Sungai
Mahakam yang disisipkan sebagai salah satu bagian dari rangkaian upacara adat
Erau di Kota Tenggarong, Kab Kutai Kartanegara.
Lembuswana adalah binatang aneh dan tergolong
satu-satunya spesies paling langka di dunia namun sudah tentu tidak terdaftar
dalam Appendix I Cites karena hanya hidup dalam mitologi Kutai yang sangat
dipengaruhi oleh budaya Hindu itu. Lembuswana adalah wahana Batara Guru yang
disebut dalam falsafah :”Paksi leman gangga yakso” yang berarti: bahwa seorang
seyogyanya memiliki sifat-sifat mulia pengayom rakyat. Penduduk setempat
mempercayai bahwa makhluk ini merupakan ‘kendaraan spiritual’ dari raja
Mulawarman, yang merupakan raja kutai pada zaman kejayaan Hindu. Lembuswana
kemudian dijadikan Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara. Di Museum Mulawarman
yang berlokasi di Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara itu terdapat satu
koleksi patung Lembuswana yang terbuat dari kuningan. Lembuswana dibuat di
Birma pada 1850 dan tiba di Istana Kutai Kartanegara pada 1900.
Menurut legendanya, ada seorang bayi yang dikawal Ular
Naga Lembu dan dibawa oleh Lembuswana. Bayi tersebut kemudian dikenal sebagai
Putri Junjung Buih dan menjadi Putri Karang Melenu yang menjadi pendamping
hidup raja Kutai Kartanegara pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti yang akhirnya
melahirkan para sultan di Kota Raja itu.
Jadi meskipun kini secara fisik Ular Naga Lembu dan
Lembuswana itu mungkin tidak ada, namun akan tetap hidup dalam jiwa dan
semangat warga Kutai dalam membangun derahnya. Lembuswana sudah sudah menjadi
mitos sekligus maskot dari Kota Raja, kabupaten terkaya di Indonesia ini
ternyata masih menjunjung tinggi legenda tanah leluhurnya.
3.2 Tradisi Erau
Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara tijak tanah
dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah
dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325),
juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi
penggantian atau penobatan Raja-Raja Kutai Kartanegara.
Dalam perkembangannya, upacara Erau selain sebagai
upacara penobatan Raja, juga untuk pemberian gelar dari Raja kepada tokoh atau
pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap Kerajaan.
Pelaksanaan upacara Erau dilakukan oleh kerabat
Keraton/Istana dengan mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat yang mengabdi
kepada kerajaan. Mereka datang dari seluruh pelosok wilayah kerajaan dengan
membawa bekal bahan makanan, ternak, buah-buahan, dan juga para seniman. Dalam
upacara Erau ini, Sultan serta kerabat Keraton lainnya memberikan jamuan makan kepada
rakyat dengan memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya sebagai tanda terima
kasih Sultan atas pengabdian rakyatnya.
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Kesultanan Kutai
Kartanegara pada tahun 1960, wilayahnya menjadi daerah otonomi yakni Kabupaten
Kutai. Tradisi Erau tetap dipelihara dan dilestarikan sebagai pesta rakyat dan
festival budaya yang menjadi agenda rutin Pemerintah Kabupaten Kutai dalam
rangka memperingati hari jadi kota Tenggarong, pusat pemerintahan Kesultanan
Kutai Kartanegara sejak tahun 1782.
Pelaksanaan Erau yang terakhir menurut tata cara
Kesultanan Kutai Kartanegara dilaksanakan pada tahun 1965, ketika diadakan
upacara pengangkatan Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, Aji Pangeran
Adipati Praboe Anoem Soerya Adiningrat.
Sedangkan Erau sebagai upacara adat Kutai dalam usaha
pelestarian budaya dari Pemda Kabupaten Kutai baru diadakan pada tahun 1971
atas prakarsa Bupati Kutai saat itu, Drs.H. Achmad Dahlan. Upacara Erau
dilaksanakan 2 tahun sekali dalam rangka peringatan ulang tahun kota Tenggarong
yang berdiri sejak 29 September 1782.
Atas petunjuk Sultan Kutai Kartanegara yang terakhir,
Sultan A.M. Parikesit, maka Erau dapat dilaksanakan Pemda Kutai Kartanegara
dengan kewajiban untuk mengerjakan beberapa upacara adat tertentu, tidak boleh
mengerjakan upacara Tijak Kepala dan Pemberian Gelar, dan beberapa kegiatan
yang diperbolehkan seperti upacara adat lain dari suku Dayak, kesenian dan
olahraga/ketangkasan.
Terdapat tiga pelaksanaan ERAU adat di lingkup Kesultanan
Kutai Kartanegara, yakni :
-
Erau Tepong Tawar
Yaitu erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat keraton
pada waktu tertentu berdasarkan keinginan (hajat) terhadap suatu pekerjaan.
Dalam pelaksanaan ini Raja bergerak bebas artinya tidak melakukan batsan tertentu
yang disebut “TUHING”.
-
Erau Pelas Tahun
Yaitu erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat keraton
berhubungan dengan aktifitas kehidupan rakyat yang bertujuan untuk membersihkan
segala macam hal yang mengganggu sumber – sumber kehidupan di permukaan bumi
dalam suatu wilayah kerajaan.
-
Erau Beredar di Kutai
Yakni erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat keraton
dengan yang di ERAU kan adalah raja, yang ditandai dengan prosesi“Mendirikan
Ayu” dan diakhiri dengan prosesi “Merebahkan Ayu”. Adapun tahapan dalam
melaksanakan upacara Erau adalah sebagai berikut :
-
Pra Erau
Sebelum Upacara Tradisi Erau dilaksanakan telah dilakukan
beberapa ritual pendahuluan sebagai upaya untuk membuka komunikasi kepada alam
gaib yang diyakini ada dan dapat saling memberikan manfaat dalam kehidupan
nyata. Adapun Tahapan – Tahapan PRA ERAU adalah sebagai berikut :
-
Besawai Pemberitahuan
Besawai merupakan proses komunikasi terhadap hal – hal
yang tidak nyata atau gaib. Besawai ini ditujukan kepada segenap penghuni
negeri yang akan mengadakan upacara tradisi ERAU yang dilakukan sesepuh atau
yang dituakan dan mengerti tentang hal – hal gaib untuk diberitahu dan diundang
secara menyeluruh.
-
Beluluh Awal
Beluluh adalah prosesi ritual yang dilakukan oleh Dewa
dan Belian terhadap Raja/Sultan/Putra Mahkota guna membersihkan diri dari
unsur-unsur jahat, baik yang yang beruwujud maupun tak berwujud. Prosesi ini
dilaksanakan sebagai pertanda dimulainya prosesi ERAU. Beluluh dilaksanakan
pada permulaan / awal sebelum Erau dimulai, dan setiap hari saat matahari turun
selama prosesi Erau dilaksanakan.
-
Menjamu Benua
Prosesi Menjamu Benua pada upacara Erau adalah prosesi
memanggil atau memberitahu mahluk halus yang dialkukan oleh Dewa (orang yang
ditunjuk untuk melakukan prosesi adat ritual ). Prosesi ini dilaksanakan
setelah Dewa menghadap sultan untuk mendapat restu, dan kemudian menuju ke
KEPALA BENUA yang berda di bagian hulu kota Tenggarong, yang bertempat di Tanah
Habang di Kelurahan Mangkurawang dengan diiringi tabuhan gamelan dan gendang.
-
Merangin
Ritual merangin dilaksanakan di serapo belian selama tiga
malam berturut – turut setelah siang harinya dilaksanakan Prosesi Menjamu
Benua. Merangin merupakan ritual yang dilakukan dengan tarian yang dilakukan
oleh belian dengan mengelilingi Benyawan (rumba) sambil memegang tali – tali
yang ada di benyawan.
-
Ngalak Air di Kutai lama
Ngalak atau dalam bahasa Indonesia mengambil yakni proses
air di Kutai Lama di Tepian Batu dan dimasukkan ke dalam Molo (Guci) untuk
dibawa ke Tenggarong sebagai perlengkapan bahan untuk ritual Mendirikan Ayu dan
diletakkan di bawah Sangkoh Piatu. Dalam perjalanan menuju Kutai Lama terdapat
5 tempat yang harus disinggahi untuk meminta ijin dan tuah dan sekaligus
pemberitahuan akan dilaksanakannya Erau. Di tempat tersebut dilakukan ritual Besawai
dan Melaboh Tigu (proses buang telor).
-
Ngatur Dahar
Ngatur Dahar dilaksanakan pada malam hari setelah
siangnya utusan Dewa Belian Ngalak Air Kutai Lama di Kutai Lama (Tepian Batu)
dan pada malam ini masuk ke ritual Merangin malam ketiga.
-
Mendirikan Ayu
Sehidang Jalik dihamparkan dan diatasnya dihiasi Tambak
Karang dengan motif naga biasa dan naga kurap sera seluang mas berwarna-warni,
pada Tambak Karang ini terdapat 4 ekor naga yang masing-masing menghadap 4
sudut luar dan di bagian tengah bermotif taman, sedangkan bagian lainnya terisi
dengan seluang mas.
-
Bepelas
Selesai Merangin oleh Dewa dan Belian di Serapo Belian
langsung menuju keraton/istna dan berputar-putar 7 kali di area Bepelas,
kemudian duduk bersila berjajar, dewa sebelah kanan dan Belian sebelah kiri
dipimpin oleh Pawang menghaturkan sembah hormat. Pada Bepelas ini, terdapat
tampilan tari Selendang, tari Kipas, tari Memuja Panah, prosesi Sultan meniti
dan menginjak Batu Tijakan, Tari Saong Manok, Tari Kanjar Bini, dan Tari Kanjar
Laki.
-
Menyisiki Lembu Suana
Di atas sebidang “Jalik” tertata “Tambak Karang” yang
bermotif Lembu Suana. Pembuatan Lembu Suana ini dari bahan beras yang
berwarna-warni sebanyak 37 warna, dan terlihat sangat tegas dan seakan-akan
hidup.
Dimulai para kerabat, berdiri bangkit dari duduk
bersilanya untuk menghampiri dan mengelilingi “Tambak Karang Lembu Suana” dan
tiap orang meletakkan mata uang kertas maupun logam ke bagian-bagian tubuh
yaitu ke bagian kepala yang bermahkota, bagian belalai, bagian tubuh, kaki,
taji, ekor, sayap dan sisik dengan menghatur “niat” masing-masing terhadap
pemaknaan dari simbol-simbol dalam diri/wujud “Lembu Suana”.
Setelah semuanya tidak ada lagi yang melakukan “taruh
uang” maka DEMONG dengan para pembantunya mengangkat sebidang tempat persegi
empat diatas duplikat “Lembu Suana” tersebut sambil menggoyang tutup segi empat
dibagikan atas kepala, dan di bagian bawah, hamparan uang kertas dan logam
dikumpulkan pada satu wadah/tempat yang kelak akan diserahkan untuk para
pengabdi ritual seperti Dewa dan Belian.
-
Dewa Belian Menjala
Dewa laki bangkit dari duduknya sambil menyeret
perahu/biduk/gubang berwarna kuning mengelilingi area Tambak Karang. Sedangkan
Dewa bini menghamparkan kain kuning panjang, juga berkeliling.
Para hadirin dan kerabat melemparkan/memasukkan uang
logam dan kertas ke dalam perahu/biduk di atas kain kuning panjang hingga
menumpuk. Prosesi ini menggambarkan mencari ikan dengan menggunakan perahu,
jala, dan mendapatkan hasil untuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh melambangkan
tradisi gotong royong untuk saling membantu.
-
Dewa Menunjuk Buah Kamal
Di atas kepala para hadirin terbentang tali-tali yang
memanjang dan terikat kuat, dengan jarak-jarak tertentu bergelantungan kue-kue
kampung yang dibuat dalam kantongan plastik. Hal ini menggambarkan bahwa pohon
yangberbuah Bawal/Kamal adalah pohon yang dapat memberikan kehidupandengan
menghasilkan buah-buahan yang siap makan. Para dewa mengambil sepotong kayu
sebagai galah untuk memetik dan menggugurkan buah-buah tersebut.
-
Seluang Mudik
Para hadirin berdiri dan dimulai oleh kerabat kesultanan
untuk menarikan Tari Kanjur dan diikuti oleh hadirin dengan formasi beberapa
lapis saling berlawanan arah yang melambangkan kehidupan hewan air yaitu “Ikan
Seluang” yang ada di Sungai Mahakam.
-
Ngulur Naga
Dua replika Naga yang terdiri dari tiga bagian, yaitu
bagian kepala terbuat dari kayu yang diukir mirip kepala naga dan dihiasi
sisik-sisik warna-warni di atas kepala terpasang ketopong (mahkota), di bagian
leher terdapat kalung yang dihiasi kain ber-rumbai warna-warni.
Bagian leher yang berkalung disambungkan ke bagian badan
yang terbuat dari rotan dan bambu, dan dibungkus dengan kain kuning. Pada kain
kuning ini disusun sisik-sisik yang berwarna warni mirip sisik ular besar.
Bagian badannya terdapat lekuk-lekuk (luk) sebanyak 5 luk seakan-akan seekor
Naga yang siap berjalan ke arah tujuannya. Bagian ekor terbuat dari kayu yang
telah diukir menyerupai seekor naga.
Selama tujuh hari tujuh malam dua ekor Naga ini telah
disemayamkan di bagian serambi kanan keraton untuk Naga Laki dan serambi kiri
untuk Naga Bini dan bagian bawah sekitar dada ditaruh/ditempatkan masing-masing
Peduduk lengkap dengan isinya.
Di hadapan serambi kiri kanan tempat Naga bersemayam
terdapat Titian disebut Rangga Titi tempat Naga diturunkan yang dihampari kain
kuning untuk menuju ke sungai, sebelum Naga diturunkan dari persemayamannya ada
prosesi persembahan oleh Dewa Belian memberi jamuan dan Besawai bahwa Naga akan
diturunkan
-
Beumban
Saat Naga diluncurkan menuju Kutai Lama, maka di keraton
dilakukan upacara “Beumban” untuk Sultan/Raja yang dilakukan oleh Juri’at
keturunan yang lebih tua walaupun dari segi umur masih muda di lingkungan
kerabat.
-
Begorok
Naga masih dalam perjalanan ke Kutai Lama dan Beumban
telah dilakukan baru dilanjutkan dengan upacara Begorok, juga dilakukan di
dalam Keraton/Istana.
-
Rangga Titi
Dari Istana/Keraton turun menuju tepi Sungai Mahakam
(pelabuhan) yang didampingi oleh para kerabat, sesampainya di pelabuhan yang
telah tersedia Balai, Sultan langsung duduk di atas Balai menghadap ke Sungai
Mahakam (Timur) yang diapit oleh 7 orang Pangkon laki dan 7 orang Pangkon bini.
-
Belimbur
Dengan dipercikkannya Air Tuli oleh Sultan kepada
sekalian hadirin, maka berakhirlah upacara adat erau, maka seluruh masyarakat
baik di tempat acara, di sepanjang jalan, gang, dari kota hingga ke desa
melakukan siram-siraman air (Belimbur). Terlihat tua-muda, laki-bini basah
kuyup menerima siraman air, kecuali orang tua atau ibu/bapak yang membawa anak
kecil dibawah umur dilindungi dan tidak boleh disiram.
3.4 Kesenian Kutai
A. Seni
Tari
1. Tari
Jepen
Kesenian jepen adalah kesenian Melayu Rakyat Kutai
Kartanegara, yang muncul pada diiringi alat musik “Gambus“ dan “Ketipung“ atau
semacam “Marwas“ serta berbagai alat musik perkusi lainnya.
Tari Jepen adalah tari garapan yang tidak meninggalkan
gerak ragam aslinya, yang disebut ragam penghormatan, ragam gelombang, ragam
samba setangan, ragam samba penuh, ragam gengsot, ragam anak, dan lain-lain.
Eroh dalam bahasa Kutai berarti ramai, riuh dan gembira. Oleh sebab itu,
penataan Tari Jepen Eroh ini penuh dengan gerak-gerak yang dinamis dan penuh
unsure kebahagiaan.
2. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi.
Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian
didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan
sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.
3. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang
menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai
penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari
kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh
kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan
diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
4. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit,
mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah
menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan
acara kesenian lainnya.
B. Seni Drama
Mamanda merupakan salah satu kesenian drama tradisional
yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Kutai. Istilah mamanda berasal
dari kata pamanda / paman.
Kata tersebut dalam suatu lakon merupakan panggilan raja
yang ditujukan kepada menteri. Wajir atau mangkubuminya dengan sebutan pamanda
menteri, pamanda wajir, dan pamanda mangkubumi
Di masa lalu, kesenian mamanda merupakan pertunjukan yang
cukup populer di tanah Kutai. Kesenian ini selalu dipertunjukkan pada setiap
perayaan nasional, pada acara perkawinan, khitanan, dan sebagainya. Saat ini,
mamanda sudah jarang dipentaskan secara terbuka. Namun, pertunjukan ini masih
bisa ditonton pada festival Erau di Kota Tenggarong.
C. Seni Musik
Tingkilan adalah Seni musik khas suku Kutai. kesenian ini
memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan
adalah Gambus (sejenis gitar berdawai 6), ketipung (semacam kendang kecil),
kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar) dan biola.
Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang
disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau
bersahut-sahutan. Dahulu sering dibawakan oleh dua orang penyanyi pria dan
wanita sambil bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan,
saling memuji, atau bahkan saling menyindir atau saling mengejek dengan
kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari
pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.
D. Seni Arsitektur
Rumah tradisional Suku Kutai sama dengan rumah
tradisional Suku Dayak yang di kenal dengan sebutan lamin. Bentuk rumah adat
lamin dari tiap suku umumnya tidak jauh berbeda.
Lamin biasanya didirikan menghadap ke arah sungai. Di
halaman sekitar lamin terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang
merupakan patung persembahan nenek moyang.
Lamin berbentuk rumah panggung (memiliki kolong) dengan
menggunakan atap berbentuk pelana. Untuk naik ke atas lamin, digunakan tangga
yang terbuat dari batang pohon yang di susun membentuk undakan dan tangga ini
bisa di pindah-pindah atau dinaik turunkan. Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk mengantisipasi ancaman musuh atau pun binatang buas.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan
manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti
kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam
hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada
lahirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan Suku Kutai merupakan hasil
asimilasi dari budaya Melayu, Jawa dan Dayak. Suku Kutai sendiri adalah
perpecahan dari suku dayak Rumpun Ot Danum yang lama-kelamaan memisahkan diri
sehingga membentuk suku sendiri yaitu Suku Kutai. Ragam kebudayaan Kutai
terdiri dari seni tari, musik, drama, arsitektur, bahasa, makanan,
upacara-upacara adat,dll adalah merupakan ciri khas kebudayaan Suku Kutai
Kalimantan Timur yang unik dan berbeda dengan suku lainnya di Indonesia
khususnya di provinsi Kalimantan timur. Kebudayaan Suku kutai merupakan salah
satu khasanah kebudayaan indonesia yang harus terus di jaga kelestariannya.
Daftar Pustaka
Komentar
Posting Komentar